21 Juni 2011

Lahan Pertanian Menyusut

Oleh FRANS OBON


KITA sedang menghadapi ancaman serius, terutama masyarakat pedesaan kita di Nusa Tenggara Timur. Ancaman itu tidak lain adalah perkiraan sekitar 3.000 hektare lahan pertanian di NTT beralih fungsi. Pemicunya adalah karena para petani membutuhkan uang sehingga dijual ke pihak lain (Flores Pos edisi 16 Juni 2011).


Meski terjadi penyusutan lahan, namun menurut Sekretaris Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Perkebunan NTT Cyrilus Timba Mbipi, masalah tersebut tidak mempengaruhi produksi pertanian. Bahkan untuk meningkatkan produksi padi pemerintah merancang program pembukaan sawah baru di sejumlah daerah.

Namun tidak lupa pula pemerintah meminta masyarakat untuk tidak tergantung pada konsumsi beras. Masih banyak pangan lokal seperti jagung dan ubi-ubian yang bisa dikonsumsi.

Berkaca pada pengalaman di daerah lain, akan ada kecenderungan bahwa alih fungsi lahan pertanian akan meningkat tiap tahun. Peralihan itu bisa disebabkan oleh bermacam-macam alasan. Para petani membutuhkan uang sehingga menjual lahannya kepada korporasi, menjadi tempat usaha, tempat hunian, dan lain-lain. Tanah-tanah pertanian, dengan demikian, beralih ke tangan pemilik modal (orang yang berduit).


Dilihat dari total produksi pertanian sebagaimana data pemerintah memang tidak berpengaruh. Artinya produksi pertanian untuk pangan masyarakat tersedia cukup. Masyarakat tidak perlu cemas dengan persediaan pangan meski lahan pertanian merosot. Tapi totalisasi jumlah produksi pangan tersebut tidak terdistribusi secara merata dari segi kepemilikannya. Bisa saja sebagian besar produksi pangan itu ada di satu daerah dan tertumpuk di beberapa para petani, tapi sebagian besar petani tidak menghasilkan produksi pertanian yang bisa mencukupi kebutuhan pangannya, terutama para petani yang tidak memiliki lahan. Dengan demikian, akses mereka terhadap pangan menjadi terbatas.

Jelaslah masalah ini menceritakan tentang kemiskinan yang mendera masyarakat pedesaan kita. Kemiskinan itu akan berlipat ganda karena di satu sisi sektor tenaga kerja pertanian meningkat jumlahnya, tapi di sisi lain luas lahan pertanian berkurang. Sementara itu peluang di sektor jasa dan perdagangan tidak meningkat secara signifikan pada setiap tahun. Karena itu pengangguran di tingkat pedesaan menjadi tinggi. Itulah sebabnya banyak sekali tenaga kerja produktif kita merantau ke daerah lain mencari pekerjaan.

Faktor kemiskinan di pedesaan yang meningkat ini menyebabkan urbanisasi ke perkotaan meningkat pula. Namun beban tenaga kerja di pedesaan itu tidak bisa terserap dengan baik di perkotaan karena minimnya keterampilan dan kreativitas. Karena itulah, tenaga kerja dari NTT yang merantau ke daerah lain sebagian besar adalah para petani yang miskin pengetahuan dan keterampilannya bekerja pada sektor perkebunan dan jasa konstruksi.

Para perantau ini juga berangkat bukan tanpa biaya. Mereka membutuhkan uang. Di sini para petani kita lagi-lagi terperangkap baik oleh calo tenaga kerja maupun para pengedar uang di pedesaan. Situasi makin buruk akan dialami oleh para petani kita.
Benar bahwa pemerintah tidak bisa mencegah dan melarang seseorang untuk menjual tanah pertanian kepada siapapun. Namun pemerintah bisa mencegah dengan memperbaiki iklim pertanian kita. Program yang terarah ke desa harus bisa mengatasi masalah ini. Peralihan lahan itu harus disertai dengan pembukaan usaha baru yang dikendalikan dan dimiliki oleh petani itu sendiri.

Bentara, 17 Juni 2011

Tidak ada komentar: