25 September 2012

Kampanye GSP

Oleh FRANS OBON

Pemerintah Kabupaten Ende di bawah kepemimpinan Bupati Don Bosco M Wangge dan Wakil Bupati Achmad Mochdar mencanangkan Gerakan Swasembada Pangan (GSP). Inti dari gerakan ini adalah bukan sekadar cukupnya ketersediaan pangan di Kabupaten Ende, melainkan pangan itu dihasilkan dari tanah kita sendiri.

Gerakan kecukupan pangan atau apa yang sering disebut swasembada pangan telah menjadi gerakan nasional di masa Orde Baru. Ketersediaan pangan yang cukup sudah jelas membuat harga pangan menjadi lebih murah. Karena sesuai dengan hukum ekonomi, kalau permintaan banyak dan persediaan sedikit, maka harga akan melambung tinggi. Sebaliknya persediaan banyak, permintaan sedikit, maka harga akan murah.  

Saat ini masalahnya bukanlah sekadar ketersediaan pangan, tetapi juga kedaulatan pangan. Konsep kedaulatan pangan jauh lebih kuat. Implementasi konkret dari konsep kedaulatan pangan ini dalam praktik pemerintahan kita di Flores dan Lembata adalah gerakan pangan lokal. 

Inti dari gerakan pangan lokal adalah bagaimana masyarakat kita makan dari apa yang mereka tanam di tanah mereka sendiri dan mereka petik dari tanah mereka sendiri. Kalau tanah mereka cocok dengan ubi kayu, mereka menjadikan ubi kayu menu utama di meja makan mereka. Kalau tanah mereka cocok dengan padi, maka menu utama di meja makan mereka adalah nasi. Kalau cocok dengan jagung, menu utama mereka adalah nasi jagung. 

Oleh karena itu pangan tidak bisa diidentikan dengan pangan tertentu, misalnya beras. Artinya kita baru merasa makan kalau kita makan nasi. Padahal daerah kita bukanlah penghasil beras. Itu berarti kita tidak makan dari apa yang kita tanam dan kita hasilkan dari tanah kita sendiri. 

Kalau kita tidak makan dari tanah kita sendiri, itu berarti kita mesti mendatangkan dari tempat lain untuk memenuhi kebutuhan pangan kita. Akibatnya pemenuhan kebutuhan pangan kita tergantung pada orang lain. Bergantung pada tersedia atau tidaknya oleh orang lain. Akibat lainnya adalah kalau terjadi hal-hal luar biasa di daerah-daerah pemasok kebutuhan kita, maka kita akan menghadapi situasi gawat luar biasa. 

Dalam konteks yang lebih luas, ketika kita tidak optimal memanfaatkan potensi di dalam negeri terutama pertanian, maka kita begitu tergantung pada impor. Pasar-pasar kita penuh dengan produk pertanian impor. Lalu, apa yang mau kita bersyukur di dalam ritus pertanian kita, yang masih kita praktikan sampai sekarang. 

Salah satu dampak dari globalisasi adalah perang menu makan. Ketika kita begitu gandrung pada produk impor, maka pola makan kita juga dibentuk oleh produk impor. Lidah kita juga sudah terbiasa dengan menu makan dengan bahan baku produk impor. 

Di dalam konteks kedaulatan bangsa, kita bisa didikte oleh bangsa lain melalui permainan ekspor-impor. Gerakan swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah Kabupaten Ende adalah bagian penting dari usaha-usaha kedaulatan pangan itu. Ada keterkaitan yang erat. Dengan kata lain makan juga menyangkut harga diri dan otonomi diri. Mengapa kita merasa lebih bangga makan nasi meski itu beras mutunya rendah daripada kita makan nasi jagung? 

Kita mendukung langkah-langkah pemerintah daerah di Flores dan Lembata yang terus menerus mengkampanyekan makan makanan lokal. Terus menerus mendorong para petani kita untuk memanfaatkan lahan-lahan pertanian kita. Oleh karena itu kalau kita melakukan upacara syukur, kita syukur untuk apa yang kita hasilkan dari tanah kita. 

Dalam konteks itu kampanye GSP di Kabupaten Ende adalah pintu masuk baru untuk mengembalikan kedaulatan kita atas pangan. Sukses atau gagal GSP bisa diukur secara kuantitatif. Namun GSP atau apapun namanya kemudian tidak lain adalah makan dari apa yang kita tanam dan kita hasilkan dari tanah kita sendiri. 

Bentara, 23 April 2012

Tidak ada komentar: