12 Mei 2014

Budaya Lokal dalam Politik Lokal

Oleh Frans Obon

Bupati Manggarai Anthony Bagul Dagur dalam pidato pelantikannya  24 Februari 2000 mengatakan bahwa pemerintah daerah memerlukan pendekatan sosial budaya dalam penyelesaian masalah di Manggarai.  Penekanan pada pendekatan sosial budaya itu memberikan kita harapan dihidupkannya kembali berbagai aktivitas budaya sebagai ekspresi jati diri orang Manggarai.
Paling tidak juga, katakanlah tanpa ajakan ini pun, perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Manggarai saat ini minimal mampu mendorong sebuah diskusi yang intens untuk menelaah berbagai soal perubahan sosial yang ada.  Atau minimal juga upaya itu memberikan harapan baru untuk apa yang dikatakan dalam puisi Mazmur Uma Rana dari John Dami Mukese, mengajak masyarakat Manggarai untuk menyadarkan kembali kuni agu kalo (jati dirinya). Mengajak masyarakat Manggarai menenum kembali kisah-kisah kehidupan yang dinyanyikan dalam sanda dengan gerak tari melingkar perlambang kesatuan dan persatuan dengan irama kaki yang seragam yang memuat falsafah muku ca puu neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng jaong (jangkong), syair-syair indah dalam mbata dan gita cinta dalam danding yang dilantunkan pada waktu malam bersama gadis-gadisnya yang berkulit kuning langsat, gerakan-gerakan mistik religius dalam raga sae ketika acara paki kaba (potong kerbau) atau paki jarang bolong (kuda hitam) di kampung-kampung di Manggarai yang syarat dengan gerakan spiritual berpadu estetika indah dan sikap ksatria yang diperagakan dalam caci bercirikan sikap sportif.

 Mbata, sanda, caci dan raga sae sebagai ekspresi simbolik dari struktur budaya dan kehidupan masyarakat Manggarai memang kian merosot. Semangat gotong royong, misalnya yang cukup tinggi, semangat bantang cama reje leleng dan falsafah muku ca puu dan teu ca ambo neka woleng jaong, yang menurut beberapa pihak menjadi kekuatan pembangunan di Manggarai, semakin jauh dari kehidupan masyarakat Manggarai.
Perang tanding sebagai jalan pintas penyelesaian masalah tanah di Manggarai mengindikasikan adanya kemorosotan nilai dalam masyarakat. Solidaritas wau (suku) dan golo (kampung) telah berubah ke bentuk yang paling brutal destruktif untuk melakukan purak (perang total) ke kampung lain. Pergeseran lain dari nilai-nilai budaya Manggarai adalah tanah-tanah yang telah diserahkan dengan sukarela di masa lampau bagi kepentingan umum diambil dan diserobot kembali oleh ata uwa weru (anak-anak muda), generasi tekur cai weru lawo cai bao. Falsafah toe nganceng lait kolen iso (ludah yang sudah dibuang ke tanah tidak dapat dijilat kembali) yang mengandung arti bahwa apa yang telah menjadi kesepakatan bersama tidak akan pernah ditarik kembali entah tertulis ataupun tidak sudah hilang.
Perubahan deras dasawarsa 1970-an di Flores menjadikan masyarakat Manggarai diperkenalkan dengan nilai baru yang dikategorikan oleh Margareta Mead sebagai tahap ko-figuratif. Dengan demikian fase pasca-figuratif di mana peran orang tua dalam pewarisan nilai-nilai menjadi berkurang dan diambil alih institusi pendidikan. Seiring pula dengan derasnya pembangunan pada periode pertama Orde Baru yang disertai dengan kebijakan kebudayaan yang sifatnya monolitik, masyarakat Manggarai seakan memiliki waktu begitu sedikit untuk mengelola perubahan dan semakin kehilangan pola ekspresi kebudayaannya.
Generasi muda tidak lagi bisa mengungkapkan dirinya dalam simbol-simbol adat tradisi lama. Kultur Manggarai sebagaimana kultur kecil lainnya terlindas dan tergilas oleh pertemuan budaya global dan kultur dominan dalam proses pertarungan dan pertemuan budaya. Di sinilah letak kekalahan tradisi di hadapan moderninasi yang ditandai oleh rasionalitas. Dengan demikian kebudayaan sebagai jaringan makna yang ditenun masyarakat sendiri melalui simbol-simbol mengalami proses perubahan dan pergeseran dari adat istiadat ke budaya modern. Kegagapan terjadi ketika budaya lokal tidak mampu menenun simbol-simbol budaya yang mengeskpresikan secara baru jati diri dan hakikat masyarakat Manggarai. Kegagapan dalam menemukan simbol-simbol baru dalam mengekspresikan diri menjadikan masyarakat lokal tersungkur di depan modernitas itu sendiri.
Kemajuan dan modernitas yang dicapai manusia memberikan kemudahan-kemudahan dan hidup dirasa menjadi lebih enteng. Tetapi dari sudut budaya terdapat satu kecenderungan yang luar biasa yang terjadi yakni adanya keseragaman gaya hidup. Namun reaksi lain dari kosmopolitan gaya hidup itu adalah apa yang dikenal dengan sebutan counter trend, suatu kecendrungan balik terhadap arus yang ada. Orang bisa bertindak sebaliknya dengan cara yang lebih ekstrim. Reaksi terhadap kecenderungan global itu bersifat ekstrim namun bisa juga terjadi secara kreatif. Artinya orang bisa sangat anti terhadap budaya luar dan melahirkan fundamentalisme budaya, tapi juga orang bisa meresponnya secara kreatif.
Dialektika budaya seperti ini tidak saja terjadi pada konteks global dengan kebudayaan nasional, tetapi juga akan terjadi pertarungan antarbudaya dalam satu negara, yang kita namakan pertarungan antarbudaya dominan. Budaya Manggarai dapat saja bertarung dengan budaya Jawa, budaya Padang. Jadi terdapat juga ketegangan antarsub budaya dalam sebuah konteks negara bangsa (nation-state).
Kegagapan itu memberikan risiko terhadap perilaku hidup. Sebagaimana yang dikatakan Anthony Giddens dalam Third Way, yang menganalisis tentang risiko kapitalisme-liberalisme pasar yang membuat sebagian besar manusia tidak berdaya merasa dikalahkan. Modernitas dan kemajuan teknologi serta perubahan gaya hidup membuat orang-orang yang tak mampu menghadapinya dengan wajah tersungkur tergeletak di depan kemajuan itu sendiri. Keruwetan berawal dari sini, yang secara kasar dapat dikatakan, meraka adalah orang-orang yang kalah dan frustrasi dalam masyarakat modern. Pergeseran dari budaya agraris-tradisional ke modernitas rasionalitas menjadikan masyarakat gagap menanggapinya, yang dalam bahasa sosiologi disebut anomie. Anthony Giddens berupaya meyakinkan kembali masyarakat bahwa sosiologi dan telaahan budaya tetap relevan pada masyarakat modern saat ini.

Institusi Politik
Aspek penting lainnya yang juga dianggap penting untuk menelaah konteks sosial politik lokal di Manggarai adalah perubahan institusi politik. Akibat lain dari perubahan sosial budaya adalah bergesernya politik kekuasaan tradisional ke sektor politik kekuasaan modern. Institusi kepemimpinan demokratis tradisional tua golo dan tua teno makin lemah kekuasaannya. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan maka secara otomatis terjadi pula perubahan dalam institusi pengambilan keputusan politik, ekonomi, budaya dan keagamaan dalam masyarakat kita.
Tua golo di masa lampau memiliki kekuasaan besar dalam kampungnya sebagai unit terkecil dalam struktur kekuasaan tradisional setelah gelarang, kraeng (adak). Semua institusi ini makin lemah perannya oleh perkembangan sosial budaya dan munculnya institusi baru politik kekuasaan setelah kemerdekaan. Tatanan masyarakat yang berubah itu tak mampu menampung peran tua golo dan tua teno selain hanya menjadi bagian dari narasi masa lampau (old traditions).
Ada beberapa perubahan yang cukup signifikan di sini.
Pertama, tatanan politik baru. Politik sebagai pembagian peran dan fungsi sudah bergeser dari institusi tradisional agraris ke institusi modern. Apalagi setelah berlakunya UU No. 18/1979 mengenai pemerintahan desa, peran institusi politik tradisional hilang habis. Dalam konteks Manggarai, tua golo  dan tua teno adalah unit terkecil dari struktur kekuasaan dan pemerintahan tradisional masyarakat Manggarai. Keduanya memiliki kekuasaan yang lengkap, yang menjalankan kekuasasan di dalam kampung secara demokratis, yang bisa mengundang seluruh warga kampung untuk membahas suatu pokok masalah yang dilangsungkan di rumah gendang. Gendangn one, lingkon peang adalah simbol kesatuan hidup masyarakat Manggarai di mana gendang sebagai representasi legitimasi kekuasaan dan lingko (kebun-kebun komunal) sebagai sumber kehidupan ekonomi bagi masyarakat kampung.
Dari segi sosio-religi kehidupan kampung terdapat empat pusat utama (1) compang (mesbah) tempat berlangsung upacara-upacara adat, sebab tiang pokok kehidupan religi kampung berpusat di compang dan tempat di mana compang didirikan dilakukan atas petunjuk leluhur;(2) kebun-kebun komunal, yang pembagiannya dilakukan oleh tua teno; (3) wae teku (mata air) sebagai sumber penghidupan – sebelum melakukan upacara-upacara di kampung, dilakukan upacara di sumber mata air tempat di mana seluruh warga kampung mengambil air; dan (4) kubur dari seluruh warga kampung, yang melambangkan masih adanya relasi yang mesti terpelihara dengan baik antara kampung dan nenek moyang.
Peristiwa politik juga adalah peristiwa budaya. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah pula mengubah struktur  politik kekuasaan di mana bangunan dan struktur kekuasaan lama diganti dengan struktur dan bangunan politik baru. Peran tua golo dan tua teno juga berubah. Kampung tidak lagi menjadi pusat kekuasaan dominan dalam negara Indonesia merdeka itu, melainkan diganti dengan kepala desa. Dengan demikian kekuasaan tua golo dan tua teno menjadi lemah. Wilayah desa itu mencakup beberapa kampung. Kekuasaan kepala desa ini tidak lagi diperoleh melalui warisan (ascribed status) sebagaimana kekuasaan tua golo dan tua teno melainkan dipilih oleh rakyat dalam periode tertentu. Umumnya orang yang terpilih menjadi kepala desa adalah orang yang dari segi pendidikannya lebih baik dari kebanyakan orang di desa tersebut, sehingga jabatan ini diperoleh melalui prestasi (achieved status). Dampak lanjutanya adalah jika ada masalah di kampung, orang membawa masalah tersebut ke pemerintah desa. Tua golo dan tua teno hanya berperan sebagai pelaku seremoni adat, yang memang masih dipelihara dengan baik.
Tatanan baru politik kekuasaan dalam atmosfer baru itu diwarnai oleh partisipasi dan distribusi peran baru. Havclav Havel berkata benar bahwa kaum borjuis tidak pernah peduli dengan perubahan dalam masyarakat karena sudah terbiasa dengan hidup enak dan diatur. Dengan demikian alokasi peran politik tidak lagi berdasarkan ascribed status melainkan achieved status.
 Kedua, sumber legitimasi kekuasaan dan politik juga sudah bergeser. Di masa lampau sumber otoritas dan legitimasi politik bersifat sakral, transendental, dari atas sebagai sesuatu yang terberi (given). Tidak perlu dipersoalkan lagi. Sementara di dalam politik modern sumber otoritas dan legitimasinya adalah konsensus, berasal dari rakyat lewat badan pemilihan, sesuatu yang imanen. Seperti kata Samuel P Hutington bahwa modernisasi politik itu sumbernya adalah rasionalisasi otoritas.
Ketiga, partisipasi politik. Ciri lain dari masyarakat demokrasi modern adalah partisipasi politik. Namun konsekuensi dari identitas baru itu adalah kekuasaan berasal dari rakyat. Karena itu partisipasi politik adalah keterlibatan warga negara dalam proses politik dan dalam proses pengambilan keputusan. Persoalannya bagaimana tua golo dan tua teno mempengaruhi proses politik yang ada? Dalam negara modern saluran aspirasi masyarakat diambil alih partai politik. Sementara partai politik mengandalkan kecakapan dan kemampuan.
Apakah kita perlu menangisi masa lampau? Apakah kita mesti kembali ke romantisme masa lampau? Tentu saja tidak. Kalau tidak lalu bagaimana kita menyiasati dan mengalihkan tradisi itu dari satu generasi ke generasi secara kreatif?
Gerakan kebudayaan di manapun tidak pernah mencapai titik imbang, namun dialektika kebudayaan selalu berlangsung di dalam dua ketegangan yakni gerakan sentripetal (gerakan mempertahankan diri) dan gerakan sentrifugal (mengembangkan diri keluar) yang nantinya akan bersentuhan dengan kebudayaan lain. Pertemuan dengan kebudayaan lain itu membuat suatu kebudayaan mendapatkan suatu sintesa baru. Dua ketegangan ini akan selalu ada selama kebudayaan itu ada.
Dalam tataran lain sebagaimana dikatakan Selo Sumarjan bahwa kebudayaan selalu bergerak dalam tiga tahap yakni integrasi, disintegrasi dan reintegrasi. Tiga momentum perkembangan masyarakar menurut Peter L Berger yakni eksternalisasi, objektivasi dan internaslisasi  sebagai sumber utama gerakan manusia yang tidak pernah selesai. Dalam alur pemikiran demikian kebudayaan dilihat sebagai sebuah agenda daya cipta dan sebuah agenda kreativitas manusia. Kebudayaan yang sehat akan selalu memberi ruang dan kemungkinan untuk masuknya unsur-unsur perubahan dan perkembangan baru. Kita tidak  tidak bisa menghindari diri dari gerakan perubahan melainkan  ikut dalam proses perubahan itu sebagai subjek yang ikut merencanakan dan melakukan berbagai tindakan yang berperspektif ke depan.
Kreativitas dalam konsep kebudayaan adalah rule governed productivity yakni kemampuan menciptakan hasil baru dengan menggunakan satu pola yang sudah dikenal untuk dimodifikasi dan rule changing productivity yang berarti sambil mencipta, orang mengubah pola dengan mencari yang lebih bagus.
Lalu bagaimana kita menghadapi perubahan sosial budaya dan perubahan institusi politik itu? Bagaimana kita menata masa depan yang lebih baik?
Pertama, kita perlu menghidupkan kembali pendidikan kesenian yang kreatif di sekolah-sekolah dasar. Orang Manggarai sebagaimana umumnya orang-orang Flores sangat musikal. Yang penting potensi musikal ini dioleh secara kreatif di bangku sekolah dasar.
Kedua, pemerintah daerah sebagai fasilitator membentuk dan merefungsi institusi adat dengan memperhatikan sejarah masa lampau. Institusi adak ini bertindak sebagai kelompok alternatif yang dapat memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah dan sebagai institusi penerusan nilai-nilai budaya. Jadi institusi adak ini bukan sebagai lembaga politik tandingan melainkan kelompok alternatif yang memberi kontribusi pada sejarah dan kebudayaan.
Ketiga, pemerintah daerah menjadi sponsor pencetakan dan pendistribusian buku-buku dongeng, cerita-cerita rakyat, dan studi-studi kebudayaan lokal dengan dana bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Paling tidak langkah-langkah konkret dan sederhana ini dapat membantu masyarakat lokal untuk menenun kembali budayanya sendiri dalam simbol-simbol ekspresi baru yang merupakan hasil dari kreativitas yang berakar dalam budaya lokal, sehingga budaya politik Manggarai juga bermartabat. Dengan demikian Manggarai adalah sebuah manik (mutiara) yang indah tapi bukan manik tandang mai (bukan hanya indah kalau dilihat dari jauh).

 Flores Pos, 4 Mei 2000

Tidak ada komentar: