31 Oktober 2014

Solidaritas Sosial

Oleh Frans Obon
 TAMPAKNYA  masih sangat relevan jika kita berbicara mengenai tema solidaritas sosial dalam pekan-pekan terakhir ini pada saat masyarakat Manggarai Timur berhadapan dengan masalah tambang. Kita menyebut masalah tambang di Tumbak khususnya dan di Manggarai Timur umumnya lantaran karena masalah tambang di wilayah itu cukup panas dan santer belakangan ini serta mendapatkan perhatian publik termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir memang masyarakat Flores dan Lembata bergulat dengan masalah tambang. Oleh karena itu masalah tambang bukanlah spesifik masalah Manggarai Timur. Kendati persoalan tambang sudah lama mendera masyarakat kita, tapi seringkali kita memang tidak pernah memberikan perhatian lebih serius untuk menyikapi dan menanggapi gejolak di kalangan para petani kita di pedesaan terkait masalah tambang ini. Oleh karena itu tidaklah heran kita akan terus mengulangi masalah yang sama dan terantuk pada persoalan yang sama dan jatuh dalam keteledoran yang sama. 

Masalah tambang terkait dengan persoalan masyarakat pedesaan, masyarakat petani kita yang belum memahami persoalan tambang dan dampaknya serta masih belum paham benar mengenai kontrak pertambangan dan dampaknya setelah persetujuan diberikan. Mereka belum paham benar bahwa sekali mereka  telah memberikan persetujuan dan perusahaan tambang mendapatkan izin legal pemerintah, maka pada saat itu hukum akan berbicara dan dampaknya para petani kita menjadi orang-orang yang kalah di hadapan hukum jika mereka menarik kembali persetujuan yang telah diberikan atau menghalang-halangi operasi perusahaan. Persetujuan untuk menyerahkan tanah kepada investor tambang atau investor apapun yang datang kemudian bisa saja motifnya bermacam-macam. Motif paling jelas adalah para petani kita tergiur dengan uang tunai yang cukup besar jumlahnya tapi menyadari dampaknya belakangan.
Dalam menghadapi masalah seperti, salah satu cara yang perlu dikembangkan adalah membangun sikap solidaritas sosial. Solidaritas sosial dalam pandangan Kristiani adalah salah satu kriteria etis dalam mengusahakan pembangunan bagi kesejahteraan bersama. Dalam konteks solidaritas sosial seperti ini, protes, kritikan, dan unjuk rasa haruslah dipandang dalam perspektif saling mengingatkan agar dalam seluruh proses membangun kesejahteraan bersama itu tidak boleh ada yang dikorbankan, tidak boleh ada yang dirugikan, dan tidak boleh ada yang menjadi tumbal dari pembangunan itu. Solidaritas sosial menuntut adanya  kesediaan untuk saling mendengarkan, saling terbuka untuk menerima masukan.
Solidaritas sosial itu mesti pula dibangun di dalam birokrasi kita. Aparat birokrasi kita bukanlah orang-orang yang tidak pernah mengenal situasi pedesaan kita. Mereka lahir di sana dan berasal dari sana, meskipun dalam kenyataannya mereka seringkali teralienasi dari situasi masyarakatnya sendiri. Sebagai orang yang terdidik (educated), mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan para petani di wilayah ini. Mereka memiliki kewajiban moral untuk mengingatkan bahaya yang timbul dan risiko-risiko dari pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada para petani kita. Solidaritas sosial itu bukanlah hal asing dalam masyarakat kita. Solidaritas sosial itu adalah kearifan lokal kita, modal sosial (social capital) yang maha dahsyat dalam membangun kesejahteraan bersama. Semangat solidaritas sosial inilah yang harus kita hidupkan, sebab dengan ini kita saling mengingatkan satu sama lain mengenai risiko-risiko dari tawaran dan pilihan yang kita buat.

Bentara,  Flores Pos ,  25-9-2015

Tidak ada komentar: