02 November 2014

Pilkada Tanpa Tema


Oleh Frans Obon
 Direktur Formappi Jakarta Sebastian Salang dalam konferensi  persnya bersama wartawan di Ruteng menegaskan bahwa Manggarai raya bukan tempatnya tambang. Alasannya karena dampak negatif pertambangan sangat besar. Menurut dia, tambang di manapun tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar, alam dan lingkungan. Yang untung adalah perusahaan dan penguasa secara personal. Publik hanya mendapatkan dampak negatifnya yakni alam yang rusak, air yang kering, kesehatan masyarakat – terutama kehilangan lahan pertanian.  Dia bilang tidak ada bukti tambang mensejahterakan rakyat (Flores Pos, 19 September 2014).

Tambang, menurut Sebastian Salang, bisa dihentikan karena kepala daerah memiliki otoritas untuk melakukannya. Aturan memungkinkan hal itu. Namun para pemimpin di daerah tidak berani menghentikan dengan alasan undang-undang. Undang-undang bukanlah menjadi alasan utama melainkan karena para pemimpin itu telah menerima sesuatu (persekot) sebelumnya.
 Sesungguhnya juga pernyataan dan asumsi seperti ini bukan pula hal baru bagi telinga orang Flores dan Lembata. Rakyat Flores dan Lembata sudah sering mengajukan pertanyaan ini: mengapa para pemimpin kita di Flores dan Lembata begitu ngotot dengan tambang, ada apa? Rakyat bertanya demikian karena dari pengalaman di banyak tempat dan di Flores sendiri, tambang tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Namun tampaknya ketidaktahuan, kekurangan pengetahuan dan lemahnya solidaritas sosial di Flores dan Lembata dimanfaatkan oleh para pemimpin kita untuk tetap nekat maju dengan memberikan izin usaha pertambangan. Karena di hadapan rakyat yang lemah, yang masih kental sikap primordialnya, yang pendek ingatannya, elite pemimpin kita tidak peduli. Orang boleh mengeritik, boleh pontang panting berdiri di sisi mereka yang terancam oleh tambang, seorang pemimpin bisa berdiri tegak mukanya dan terus meraih kekuasaan dengan mudah.
 Padahal pemimpin pada hakikatnya adalah pelindung rakyat. Filosofi orang Manggarai, misalnya, menegaskan bahwa tugas pemimpin adalah memberi arah yang benar (titong agu palong), menciptakan kesadaran baru di tengah masyarakat atau empowerment (toing) dan membangun kesejahteraan (teing) yakni kesejahteraan bersama (bonum commune). Dengan demikian, seorang pemimpin tidak akan rela mengorbankan rakyatnya demi kesejahteraan yang dia bayangkan sendiri.  Bingkai dari seluruh kesejahteraan rakyat yang hendak dibangun oleh seorang pemimpin adalah kalkulasi nilai dan iman. Kalkulasi nilai itulah yang melindungi pemimpin kita agar tidak mengorbankan rakyatnya sendiri. Bingkai imanlah yang membuatnya selalu memandang rakyat sebagai kawanan yang selalu dijaganya. Dia bertindak sebagai gembala setia, yang membawa rakyatnya menuju padang hijau kesejahteraan.
Lalu, mengapa kita terantuk pada persoalan yang sama tiap kali. Salah satunya disumbangkan oleh kenyataan bahwa seleksi pemimpin kita di wilayah ini berjalan tanpa tema. Pilkada kita tidak punya tema yang jelas. Kita pilih pemimpin kita karena dia orang kita, dia menguntungkan kita secara ekonomi, dia telah memberikan kita pekerjaan, dan dan lain-lain kepentingan. Oleh karena itu tiap kali kita “seperti pengemis” untuk meminta-minta “belas kasihan” dari para pemimpin kita agar dengan kemurahannya, dia mendengarkan kita. Sepanjang Pilkada berjalan tanpa tema, kita akan terus begini.

Bentara  Flores Pos, 20-9-2014




Tidak ada komentar: