04 November 2014

Revolusi Paradigmatik


Oleh Frans Obon
USKUP Ruteng Mgr Hubert Leteng merasa prihatin dengan masalah pertambangan di Manggarai raya karena telah menimbulkan konflik di kalangan masyarakat. Dalam masalah tambang itu pula, masyarakat petani khususnya dalam kasus Tambang di Tumbak di wilayah bagian utara Kabupaten  Manggarai Timur terpaksa berhadapan dengan aparat kepolisian. Oleh karena itu Uskup Hubert mendesak pemerintah memikirkan secara cermat kebijakan pertambangan. Bahkan Uskup mendesak para bupati mencabut semua izin usaha pertambangan (IUP) (Flores Pos, 20 September 2014).
Namun di beberapa kesempatan kita mendengar bahwa dalam kasus tambang, para pejabat kita memperkecil wilayah masalahnya dengan mengatakan bahwa konflik yang ada disebabkan oleh konflik di kalangan masyarakat sendiri antara masyarakat yang pro dan kontra tambang. Oleh karena itu penyelesaian terhadap masalah ini diserahkan kembali kepada masyarakat. Intinya karena masyarakat yang berkonflik, maka mereka sendiri yang menyelesaikannya. Tugas pemerintah hanyalah memediasi masyarakat yang sedang berkonflik. Dengan demikian pemerintah tidak lagi menganggap dirinya sebagai bagian dari masalah yang ada. Padahal di sisi lain, pemerintah yang sama di mana-mana mengatakan bahwa potensi alam kita dalam hal ini pertambangan dapat mensejahterakan masyarakat. Di mana kesejahteraan yang dibayangkan oleh elite pemimpin kita? Kenapa pemerintah kita cuci tangan ketika ada masalah?
Reformasi politik di Indonesia setelah Orde Baru yang dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan  ke daerah ternyata tidak mengubah apa-apa dalam hal paradigma pembangunan kita. Desentralisasi kekuasaan dan kewenangan pemerintah yang diamanatkan oleh Reformasi sejatinya adalah berubahnya paradigma pembangunan. Paradigma tidak lain adalah kerangka berpikir kita. Kita seharusnya mengubah kerangka berpikir kita bahwa otonomi bukan saja dalam hal pengambilan kebijakan, tetapi otonomi paling utama adalah otonomi manusia. Otonomi manusia tidak lain adalah seluruh paradigma pembangunan itu mesti difokuskan pada perkembangan pribadi manusia yang utuh menyeluruh. Tidak boleh ada manusia yang direndahkan martabatnya dalam seluruh proses pembangunan itu. Dengan demikian pembangunan itu harus dapat menjadi peningkatan harkat dan martabat manusia. Pembangunan harus sungguh memperhatikan hak-hak asasi manusia, menjamin kebebasannya untuk mencapai kepenuhan dirinya.
Praktik kekuasaan yang terjadi selama Reformasi saat ini justru seringkali mengabaikan hak-hak asasi manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencegah pemenuhan pencapaian kesejahteraan yang tidak merendahkan manusia. Akar dari semua ini adalah praktik kekuasaan yang disalahgunakan, yang diakibatkan oleh dikeluarkannya dimensi “kerohanian” dari politik itu sendiri. Politik yang dipraktikkan seolah-olah terlepas dari prinsip-prinsip moral keagamaan yang kita anuti. Dimensi kerohanian dari politik itu berakar di dalam moral keagamaan. Oleh karena itu seluruh praktik politik kekuasaan kita dikembalikan ke dalam kerangka politik yang benar yakni ditempatkannya kembali dimensi kerohanian sebagai inti dasar dari prakatik politik kita. Kita membutuhkan revolusi paradigmatik dari praktik politik kekuasaan kita di Flores dan Lembata dan dikembalikanya dimensi “kerohanian” ke dalam poltik kita.

Bentara, Flores Pos, 22-9-2014


Tidak ada komentar: